Rubaiat Rindu

/1/
sebab aku hanya rindu, maka menemukanmu sebagai hilir adalah kemungkinan yang tak ‎kunjung kita pahami. serupa keberangkatan dengan peta singgah yang tak pernah pasti. ‎atau biarkan saja tiap derap selalu terengah dengan luka dan nafasnya sendiri. kau, atau ‎aku yang harus sampai lebih dulu, waktu selalu lebih tahu. dan mengabadikanmu sebagai ‎hulu adalah puisiku paling lugu.‎

/2/
sudahlah, tak perlu lagi kau seterukan laju magrib yang menghampiri keretamu sore ini. ‎sedang senja adalah stasiun terakhir yang memishakan perjumpaan tadi pagi. atau ‎barangkali memang beginilah hidup harus kita sepakati. dialektika kegaiban yang tak ‎kunjung purna kita perhitungkan; makrifat keheningan di hijab malam. sudahlah, aku ‎akan selalu merindukanmu dalam diam. dan kita terlanjur berpamitan.‎

/3/
maka kini aku tahu, menggenangkan rindu di rahim waktu adalah membiarkan darah berhenti ‎melaju. sedang denting yang patah di jantungmu mengabadikan hasrat yang bertalu. ‎maka kubiarkan jarak yang tak sempat kita lipat tiba-tiba memanjang, mengukur jejak ‎ingatan yang tak sempat kita kenang. dialah aku, derap yang gemetar dan lelah mencari ‎sepi. membunuh mimpi setajam belati.‎

/4/
barangkali aku memang tak pernah tahu, bagaimana seharusnya membaca degub yang retak di ‎garisgaris tanganmu. sebab rindu yg pernah kita dahagakan tibatiba melepuh dan api ‎yang nanar di matamu makin luruh. maka kubiarkan saja jalan ini kekal tanpa muara, ‎dengan gang-gang sempit yang kian tua. barangkali waktu demikian renta. dan aku masih ‎terbata mengeja usia.‎

Surabaya, 2010

11.06.2010 di Sabtu, November 06, 2010

8 Comments to "Rubaiat Rindu"

selamat malam baha, tiba-tiba ingin diam membaca tulisan ini. hening menjadi kian indah dengan kalimatmu.

rindu,...akhh takkan habis, bahkan dengan sejuta kalimat dan kata. ya...takkan habis,terlebih lagi rindu yang tak kunjung tersampaikan....

hanya bisa tercenung...

rindu ... selalu menyisakan ruang untuk diri sendiri
salam, Baha.

Saya tahu persis rasanya rindu Mas... mungkin saya orangnya keras kepala dan gak puitis (hehehehe), jadi saya serahkan rindu saya pada Allah. Awalnya saya menangis karena anak kembar 5 tahun yang dijauhkan dari ibunya, tapi akhir-akhir ini saya menangis setelah melihat film Sang Pencerah. Saya berjalan kaki dari Empire XXI menutup muka dengan kerudung sambil menangis tersedu-sedu, seperti melayang sampai ke rumah di kawasan UGM. Dan akhirnya jadilah blog yang saya buat saat ini. Terima kasih atas kunjungannya ke blog saya...

Apa kabar, mas? Lama tak bersua.

sebenarnya aku berkali kali kesini
cuma bingung mau komen apa
habis tulisannya bagus banget

Om, ajarin nulis sebagus itu dong

sungguh mendalam tulisanmu sahabat,,,,

aku suka sekali dengan point yg 4.

Tetaplah rubaiat dengan rindumu sahabat,

Posting Komentar