Kasidah Luka

Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku. Sebagaimana tiap perjumpaan telah menjadi janji, sungguh, kehilangan ini telah benar-benar kita sepakati.

Kehilangan, sudah sejak awal kupahami sebagai sesuatu yang menyakitkan. Lebih sakit lagi bahwa ternyata kita tak memiliki apapun selain harapan. Dulu aku berharap bahwa laju percintaan ini mengalir tanpa muara. Berharap ujung jalan ini tak ada. Tapi nyatanya, ketika cinta ini rekah dan engkau mengamininya dengan resah, ia tak menyisakan apapun selain sesak dalam dada. Maka kucoba susun kembali detak rindu yang pernah kita bincangkan di riuh malam, pada derap cemas yang terengah dan memanjang; tapi toh akhirnya kita juga sampai pada satu kesimpulan bahwa suatu saat kita harus berpamitan.

“Jangan buat aku lebih jatuh cinta lagi kepadamu, sayang.” Ada lirih yang terempas dari kalimatmu malam ini. Sebentuk aksentuasi nyeri yang mengiris hati. Pertemuan kita barangkali hanyalah kecelakaan yang menggilakan. Tapi sungguh, aku mencintaimu bukan dengan logika yang dipaksakan. “Dan aku sangat yakin kau telah sadar konsekuensi mencintaiku, bukan?” Menohok benar pertanyaanmu kali ini, mengeksekusi kesadaran yang sebenarnya telah terbangun sejak dini. Ya, mencintaimu adalah kesalahan yang abadi. Tapi kenapa harus pertanyaan itu yang kau ingatkan bahkan ketika kuberusaha sepakat bahwa mencintai bukanlah ikhtiar memiliki?

Lalu bagaimana kau akan mengucapkan selamat tinggal pada orang yang sangat kau cintai? Apakah ada satu tatapan, satu kecupan, atau desahan sederhana? Memoriku masih kokoh mengingat awal perjumpaan kita di kafe tua itu. Angin serasa berhenti berdesau.  Degub getir menjalari tiap inci dari tubuhku yang parau. “Boleh tidak merokok? Malam ini saja”, pintamu dengan ramah. Maka aku hanya menyeruput Cappucino yang menguap, mengingatkanku pada kepulan asap rokok yang melesap. Seperti itukah kelak cinta kita bertangkupan di udara, lalu sirna entah kemana?

“Aku tak ingin menghilangkan nyamanku di sisimu secepat ini.” Selalu sesederhana itu kata-katamu. Menciptakan kembali labirin impian yang menggigilkan kegilaanku. Melepasmu adalah melerai denting ketakutan yang meruncing, tapi membangun lagi kekalutan di sisi lain. Jika energi cinta selalu membangun mimpi sederhana, aku ingin ia hidup di jantungku dengan rentang waktu yang lama. Agar kurasakan benar tiap gigil kesakitan yang mendera. Agar kucicipi benar tiap ingatan yang meranggas luka. Kalaupun ia harus sirna, tolong pelan-pelan saja…

Tapi itu dulu. Dulu sekali. Ketika sakit hanya kupahami sebagai sisi normal dari kehidupan. Nyatanya, kegilaan yang berkepanjangan telah membuatku syakau ingatan. Kukira aku kuat. tapi cinta, ternyata tak memberikan apapun kecuali kehilangannya. Atau cinta memang lebih seperti cerita Adam, yang melarutkan Hawa, tergelincir, takut ditinggalkan.

Ah, barangkali saat ini aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaan dengan jalan yang tak masuk akal. Memulai hidup baru, dengan cinta yang banal. Kau dan aku, biarlah tetap sendirian. Ya, sendirian. Orang seperti kita hanya layak tumbuh dengan imajinasi-imajinasi. Kegilaan yang abadi. Hidup kita mungkin sunyi, tapi sungguh, impian kita liar dan tak bertepi.

Maka aku berharap kau tak lagi menghakimi terlalu kasar imajiku yang liar. Imajinasi itu akan segera hadir juga dalam pikiranmu, meresapi tiap urat nadimu dengan menyampingkan apapun yang ada di dunia ini. Percayalah, apapun yang terjadi, tetaplah mengingatku sebagi aku yang dulu.

Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku. Tanpa karangan bunga. Atau desahan sederhana. Karena cinta kita hanyalah kasidah luka, yang membuat kegilaan hidup menjadi purna.



12.11.2010 di Sabtu, Desember 11, 2010

0 Comments to "Kasidah Luka"

Posting Komentar