/1/
barangkali deru pantai alexandria yang rebah di matamu adalah angin yang tiba-tiba lindap, menusuk-nusuk liang puisiku pada malam yang pekat. hening telah luruhkan beribu kata di tepian Muntaza, serupa lanskap bagi huruf-huruf hermeneutika yang kau eja. bukankah makna, selalu menampakkan kata-katanya yang telanjang?
/2/
katamu, senja selalu datang menghampiri bulan. tapi pelancong pun paham, perjumpaan selalu mengawali kehilangan. jejak-jejak yang sengaja ditinggalkan para arkeolog yang kebingungan. lalu bagimana kau mengukur ruas jalan kairo yang berdesakan? ah, kau pasti menertawakan nalarku yang kurang ajar.
/3/
maka seperti apa tepian sungai nil telah melabuhkan riak pada sampanmu yang berderak? dawai biola yang kau petik di patahan senja adalah denting kegaiban yang menanggalkan aksara di puncak kesunyian. dan kau datang seperti malam, melerai penat yang dilarutkan tempias di kaca jendela pasca guyuran hujan.
/4/
ah, puisiku barangkali hanyalah dongeng pengantar tidur, yang menggigilkan rindumu pada tanah leluhur. nun jauh di seberang sana, musim selalu menunggu purnama. hidup memang kegilaan paling purna; mitologi usang yang dipasarkan reklame di pinggir jalan, tumpukan berkas kesalahan yang diwajarkan di pengadilan, dan peta kelahiran yang sengaja ditanggalkan dari ingatan. dan doaku, semoga puisi ini membawa makna, meski entah sampai kapan kata-kata akan sirna.
/5/
kaulah itu, perempuan yang terlelap dalam buai sunyi. memintaku memahat sebaris puisi, dongeng pengantar mimpi. lalu sesekali kau usir hikayat sepi, dari pintumu yang tak terkunci.
Surabaya, 18 Juli 2010
barangkali deru pantai alexandria yang rebah di matamu adalah angin yang tiba-tiba lindap, menusuk-nusuk liang puisiku pada malam yang pekat. hening telah luruhkan beribu kata di tepian Muntaza, serupa lanskap bagi huruf-huruf hermeneutika yang kau eja. bukankah makna, selalu menampakkan kata-katanya yang telanjang?
/2/
katamu, senja selalu datang menghampiri bulan. tapi pelancong pun paham, perjumpaan selalu mengawali kehilangan. jejak-jejak yang sengaja ditinggalkan para arkeolog yang kebingungan. lalu bagimana kau mengukur ruas jalan kairo yang berdesakan? ah, kau pasti menertawakan nalarku yang kurang ajar.
/3/
maka seperti apa tepian sungai nil telah melabuhkan riak pada sampanmu yang berderak? dawai biola yang kau petik di patahan senja adalah denting kegaiban yang menanggalkan aksara di puncak kesunyian. dan kau datang seperti malam, melerai penat yang dilarutkan tempias di kaca jendela pasca guyuran hujan.
/4/
ah, puisiku barangkali hanyalah dongeng pengantar tidur, yang menggigilkan rindumu pada tanah leluhur. nun jauh di seberang sana, musim selalu menunggu purnama. hidup memang kegilaan paling purna; mitologi usang yang dipasarkan reklame di pinggir jalan, tumpukan berkas kesalahan yang diwajarkan di pengadilan, dan peta kelahiran yang sengaja ditanggalkan dari ingatan. dan doaku, semoga puisi ini membawa makna, meski entah sampai kapan kata-kata akan sirna.
/5/
kaulah itu, perempuan yang terlelap dalam buai sunyi. memintaku memahat sebaris puisi, dongeng pengantar mimpi. lalu sesekali kau usir hikayat sepi, dari pintumu yang tak terkunci.
Surabaya, 18 Juli 2010
3 Comments to "Puisiku; Dongeng Pengantar Tidur"