kepada: istianah bintang hatiku
rindu ini akhirnya mengantarkanku pada musim yang membuatku lupa jalan pulang, karena pada muram jendela kamarmu, kuhembuskan bisikan paling curam. lalu rerintik resah di kelopak matamu berguguran dalam diam.
seperti yang sering kau ceritakan; tentang rindumu pada rembulan, juga jalan setapak penuh ilalang, tanpa kemarau yang mengeringkan kerinduan. maka kenapa kita selalu bicara tentang hati, bila sebilah puisi hanya menunggui kematian kita di ujung pagi?
istianah, bentangkanlah riwayatku pada helai rerumputan, di setiap perempatan jalan dengan tandus bebatuan. dan setiap kali kau pandangi jendela kamarmu, katakan dengan lantang; ini masih tentang rindu, yang teriris-iris waktu tanpa dendam.
lantas seperti apa aku? katamu, pada selembar kerinduan. layak batu, pecah tetap menjadi batu. lantas bagaimana kukenalkan diriku? sedangkan aku tak memiliki apapun selain mimpi-mimpi bintang hati. lantas apa pula yg menjadi bebanku? padahal malaikat hanya mencatat gerak-gerak sesudah.
itulah makrifat rindu, jawabku, di hulu waktu. dan jelentik airmata yang mengalir di teluk kalbumu adalah geletar grimis yang mengisyaratkan lembar-lembar gelisah untuk berdendang menjadi sajak.
maka, istianah, jangan lupa untuk selalu kau pakai baju malammu. bacalah pula gurindam doa yang kau cipta tanpa aksara. karena barangkali ibumu lupa mengingatkan; rindu kadang membuat kita lupa jalan pulang.
jika sajak-sajakku mampu melumat perih, bacalah. hingga tubuhmu benar-benar milik hari-hari bisu: waktu dimana hikayat kita telah menjadi tugu, ingatlah; sajak-sajaku, masih tentang rindu.
Surabaya, 17 Februari 2010 11:12 wib.
7 Comments to "Masih Tentang Rindu"