kudapati degup puisimu pada derap sunyi, saat dengan mata nanar kupandangi getir hujan yang memanggil-manggil gigil doaku di ujung malam. rinduku barangkali hanyalah isyarat imaji yang mengaliri selokan-selokan di pinggir jalan;
i'tikaf keheningan.
membaca puisimu sebelum redup matahari adalah melumat waktu yang terkapar di trotoar; lalu kukirim untukmu semangkok es tebu di terik siang yang membakar. tak apa, meski akhirnya kita hanya sanggup menikmati munajat sepi selarik puisi;
makrifat sunyi.
aku ingin kembali mengirimimu surabaya sore, saat denting rel kereta merindukan orkestra kesunyian di hutan-hutan. lantaran selalu kubaca puisimu dengan geletar mimpi, menekuri zikir hati di ujung sunyi. pada kerlap cahaya merkuri yang memaki-maki surabaya sore tadi;
di sini, aku masih sendiri.
maka kubayangkan desah puisimu adalah sejuk semilir gunung tangkuban perahu, tempat dimana wangi peluh di tubuhmu menyeruap seperti aroma kebun teh ketika hampir panen, tapi bandung masih berkabut dingin, saat perjalanan rinduku luruh di tangkai-tangkai angin.
ah, rupanya masih ingin selalu kubaca puisimu, meski tak pernah benar-benar kupahami. selalu tak selesai kubaca, meski helai daun kamboja luruh di sisa senja. seperti peziarah yang singgah tergesa-gesa, aku tak mampu mengeja puisimu yang menjelma cinta; barisan epitaf pada batu nisan yang kian tua.
Surabaya, 09 Mei 2010
i'tikaf keheningan.
membaca puisimu sebelum redup matahari adalah melumat waktu yang terkapar di trotoar; lalu kukirim untukmu semangkok es tebu di terik siang yang membakar. tak apa, meski akhirnya kita hanya sanggup menikmati munajat sepi selarik puisi;
makrifat sunyi.
aku ingin kembali mengirimimu surabaya sore, saat denting rel kereta merindukan orkestra kesunyian di hutan-hutan. lantaran selalu kubaca puisimu dengan geletar mimpi, menekuri zikir hati di ujung sunyi. pada kerlap cahaya merkuri yang memaki-maki surabaya sore tadi;
di sini, aku masih sendiri.
maka kubayangkan desah puisimu adalah sejuk semilir gunung tangkuban perahu, tempat dimana wangi peluh di tubuhmu menyeruap seperti aroma kebun teh ketika hampir panen, tapi bandung masih berkabut dingin, saat perjalanan rinduku luruh di tangkai-tangkai angin.
ah, rupanya masih ingin selalu kubaca puisimu, meski tak pernah benar-benar kupahami. selalu tak selesai kubaca, meski helai daun kamboja luruh di sisa senja. seperti peziarah yang singgah tergesa-gesa, aku tak mampu mengeja puisimu yang menjelma cinta; barisan epitaf pada batu nisan yang kian tua.
Surabaya, 09 Mei 2010
3 Comments to "Membaca Puisimu"